
Ranggawarsita: Sang Peramal Zaman dari Tanah Jawa
Di penghujung abad ke-18, saat bayang-bayang kolonialisme merayap di Nusantara, lahir seorang bayi di Surakarta yang kelak namanya bergema melintasi zaman: Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Ia bukan hanya pujangga, bukan sekadar penulis. Ia adalah mata hati zamannya — penjaga gerbang masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Ranggawarsita lahir dari garis darah para pujangga besar. Ayahnya, Yasadipura II, adalah penyair istana Kasunanan Surakarta. Sejak kecil, Ranggawarsita tumbuh di antara bait-bait syair, hikayat lama, dan petuah-petuah Jawa yang kaya makna.
Namun berbeda dari pujangga lain yang hanya mengagungkan masa lalu, Ranggawarsita mengarungi jalan yang lebih sunyi: ia berusaha memahami zaman dan menulis untuk masa depan.
Ia belajar ilmu sastra, filsafat, hingga kebatinan. Tapi di balik kedalaman ilmunya, Ranggawarsita hidup dalam dunia yang penuh pergolakan:
- Tanah Jawa yang terpecah dalam intrik politik istana.
- Bangsa asing yang menancapkan kuku kekuasaan dengan tipu daya.
- Rakyat kecil yang kehilangan arah di tengah perubahan yang membingungkan.
Dari kegelisahan itulah, lahir karya-karya besarnya — sebuah mosaik tulisan yang mencoba merangkum denyut zaman.
Dalam syair-syairnya, terutama di karya seperti Serat Kalatidha, Ranggawarsita menulis tentang zaman edan: zaman di mana kebenaran kabur, di mana yang berkuasa adalah tipu muslihat, di mana manusia tersesat dalam nafsu dunia.
Ia menggambarkan dunia sebagai medan penuh kabut, tempat orang bijak pun sulit membedakan mana jalan lurus dan mana jalan sesat.
Namun Ranggawarsita tidak hanya berhenti pada keluh kesah. Ia menulis jalan sunyi: bahwa di tengah zaman edan, manusia tetap bisa memilih untuk eling lan waspada — sadar dan awas.
Bahwa kehancuran tidaklah mutlak, jika nurani tetap dijaga, dan kebijaksanaan tetap dinyalakan.
Bagi banyak orang Jawa, Ranggawarsita dianggap sebagai peramal. Bukan dalam arti pesulap atau peramal nasib murah, tapi dalam arti seorang pemikir yang bisa membaca pola zaman:
- Ia “melihat” datangnya masa penjajahan yang lebih berat.
- Ia “merasakan” keretakan moral di tengah perubahan sosial.
- Ia “menyentuh” kemungkinan kebangkitan setelah keterpurukan panjang.
Dalam Serat Sabdajati dan Serat Jangka Jayabaya, Ranggawarsita menyampaikan ramalan-ramalan yang oleh sebagian orang dipercaya hingga kini.
Tapi lebih dari ramalan, yang ditinggalkan Ranggawarsita adalah cermin. Cermin bagi setiap generasi untuk melihat dirinya sendiri — di mana kita berdiri, ke mana kita berjalan.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Ranggawarsita wafat pada 24 Desember 1873. Tubuhnya telah kembali ke bumi, tapi kata-katanya tetap berdenyut dalam jiwa Nusantara.
Hari ini, saat dunia modern bergerak lebih cepat daripada yang bisa kita kejar, bisikan Ranggawarsita semakin relevan:
“Di tengah zaman edan, tetaplah sadar dan waspada. Karena dunia boleh gila, tapi jiwa manusia tetap bisa memilih jalannya.”
Dan mungkin, dalam setiap pergulatan kita hari ini — dalam dunia maya yang riuh, dalam politik yang membingungkan, dalam ekonomi yang menyesakkan —
Kita masih bisa menemukan seberkas cahaya dari pujangga tua itu, yang dari tanah Surakarta telah menulis pesan untuk kita semua.
Sebuah pesan yang sederhana, tapi abadi:
Tetap eling. Tetap waspada.