
Raden Mas Panji Sosrokartono: Sang Jembatan Timur dan Barat
Di tengah arus besar kolonialisme yang membelah dunia, ada satu sosok dari tanah Jawa yang berjalan dengan langkahnya sendiri — Raden Mas Panji Sosrokartono.
Ia tidak hanya melintasi batas-batas budaya, tapi juga membuktikan bahwa pengetahuan, kepekaan, dan identitas bisa berdiri sejajar di hadapan dunia.
Sosrokartono lahir dalam keluarga bangsawan yang sama yang kelak melahirkan pahlawan emansipasi, R.A. Kartini — adik perempuannya yang kelak dikenal seluruh dunia.
Namun, di balik bayang-bayang besar itu, Sosrokartono menorehkan jalannya sendiri: jalan sunyi, jalan pemikiran, jalan pertemuan peradaban.
Sejak kecil, Sosrokartono menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia menguasai berbagai bahasa asing — bukan dua atau tiga, melainkan lebih dari dua puluh bahasa. Ia tak sekadar berbicara, ia memahami. Bahasa baginya bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jembatan antarjiwa manusia.
Ketika zaman menuntutnya memilih jalan, Sosrokartono melangkah ke Eropa — belajar di negeri jauh yang dingin dan asing, di Universitas Leiden, Belanda. Ia menjadi pribumi pertama yang mencapai pendidikan tinggi di tanah penjajah.
Tak hanya lulus, ia juga menjadi penerjemah utama di Konferensi Perdamaian Den Haag (1899), sebuah forum bergengsi di mana bangsa-bangsa besar membicarakan masa depan dunia.
Di ruang-ruang megah itu, di antara diplomat-diplomat Barat, berdirilah seorang putra Jawa — dengan sorban dan pakaian tradisionalnya — yang dengan tenang menerjemahkan bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Rusia, hingga Jepang.
Ia menjadi jembatan hidup antara dunia Timur yang sering disalahpahami dan dunia Barat yang penuh ambisi.
Sosrokartono bukan hanya menguasai bahasa, ia menguasai cara berpikir lintas peradaban.
Ia menolak tunduk. Ia menolak dijadikan alat kolonial. Ia berdiri tegak — sebagai manusia Indonesia yang utuh.
Namun, kehidupan bukan hanya soal pencapaian. Setelah bertahun-tahun mengarungi dunia Barat, Sosrokartono memilih pulang ke tanah air.
Ia tidak mencari kekayaan atau jabatan. Ia kembali untuk menyembuhkan, untuk mengabdi.
Di Bandung, ia membuka sebuah “warung” sederhana yang disebut “warung pengobatan air putih”. Tidak ada tarif mahal. Tidak ada syarat rumit. Hanya air putih, doa, dan ketulusan.
Ia menyembuhkan orang sakit, orang putus asa, orang yang kehilangan arah — bukan dengan sihir, melainkan dengan energi welas asih yang ia tanamkan dalam dirinya.
Banyak yang datang kepadanya bukan hanya untuk kesembuhan fisik, tetapi untuk mencari kembali makna hidup.
Cahaya Sunyi dari Tanah Jawa
Raden Mas Panji Sosrokartono wafat dalam kesederhanaan.
Ia tidak meninggalkan istana, tidak membangun monumen besar untuk dirinya. Yang ia tinggalkan adalah jejak kebaikan, warisan pemikiran, dan inspirasi tentang harga diri bangsa.
Di zaman ketika banyak orang mengejar kemewahan dan pengakuan, Sosrokartono justru menunjukkan kekuatan dari kesunyian, dari pelayanan, dan dari kesetiaan pada jati diri.
Ia mengajarkan kita:
Bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, setinggi apa pun ilmu dan penghargaan dunia, akar budaya dan kemanusiaanadalah yang harus tetap dijaga.
Dan mungkin, di balik gemuruh zaman ini, suara lirihnya masih bergema:
“Ilmu itu cahaya. Tapi cinta kepada sesama adalah pelita yang lebih abadi.”