• 081212900610
  • info@nusaverse.id
  • Jakarta, Indonesia
sejarah peradaban
Pancasila di Era Digital: Menyulam Masa Lalu ke Masa Depan

Pancasila di Era Digital: Menyulam Masa Lalu ke Masa Depan

Ada sebuah pertanyaan yang diam-diam bergema di antara riuh notifikasi, riak media sosial, dan derasnya arus teknologi:

Masihkah Pancasila relevan di dunia hari ini?

Mungkin, jika Bung Karno, Bung Hatta, dan para pendiri bangsa membuka mata di zaman kita, mereka akan terkesiap melihat dunia baru ini — dunia tanpa batas, di mana berita menyebar dalam hitungan detik, di mana manusia bisa berbicara kepada ribuan orang tanpa perlu keluar rumah, di mana gagasan bisa melintasi benua sebelum kita sempat berkedip.

Tapi mungkin, setelah keterkejutan itu, mereka akan tersenyum. Karena nilai-nilai yang mereka rumuskan di masa lalu bukanlah jimat yang statis, melainkan bintang penunjuk jalan — bahkan di jalan yang belum pernah dilalui seperti dunia digital ini.

Pancasila bukan sekadar teks yang dihafal di upacara. Ia adalah napas, cara kita berjalan di dunia. Dan justru di tengah derasnya perubahan ini, nilai-nilai itu menemukan medan juang barunya.

Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan kita bahwa di dunia serba otomatis, manusia tetap harus menaruh hormat pada sesuatu yang lebih tinggi dari algoritma dan mesin. Bahwa teknologi adalah alat, bukan tuan.

Kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi penting ketika avatar dan akun membuat kita mudah lupa bahwa di balik layar itu, ada manusia nyata dengan luka, harapan, dan harga diri.

Persatuan Indonesia terasa makin genting saat dunia maya kerap membelah kita dalam polarisasi. Kita diingatkan bahwa sebelum kita berbeda pendapat, kita satu tanah, satu air, satu sejarah.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan berbicara lebih keras ketika semua orang bisa berteriak di dunia maya. Ia mengajarkan bahwa suara boleh bebas, tapi kebijaksanaan harus tetap menuntun.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi panggilan baru untuk memastikan bahwa revolusi digital tidak hanya dinikmati segelintir kota besar, tapi juga menyentuh desa-desa kecil di lereng gunung, di pinggir pantai, di ujung sungai.

Pancasila, dengan segala keagungannya, bukan benda mati. Ia seperti benih yang harus terus ditanam di tanah zaman apa pun — termasuk di tanah digital ini.

Kita, generasi hari ini, memegang cangkulnya.

Kitalah yang harus menyemai Pancasila dalam setiap klik, dalam setiap karya, dalam setiap interaksi.

Kitalah yang harus membuktikan bahwa akar budaya dan identitas ini bisa tumbuh, bahkan di dunia yang melaju secepat kilat.

Pancasila tidak pernah ketinggalan zaman.

Kitalah yang menentukan, apakah kita mau membawanya berjalan bersama kita — atau meninggalkannya di rak buku usang yang berdebu.

Dan dalam dunia baru ini, di tengah pusaran teknologi dan globalisasi, Pancasila kembali membisikkan pesannya:

“Jangan takut berubah. Tapi jangan lupa siapa kamu.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *