• 081212900610
  • info@nusaverse.id
  • Jakarta, Indonesia
sejarah peradaban
Ketika Cahaya Besar Itu Meredup: Kisah Runtuhnya Majapahit

Ketika Cahaya Besar Itu Meredup: Kisah Runtuhnya Majapahit

Dulu, langit Nusantara pernah diterangi oleh satu bintang besar: Majapahit.

Kerajaan yang membentang dari Sumatra hingga Papua, dari Semenanjung Malaka hingga bagian utara Australia. Sebuah imperium yang membuat lautan Nusantara seolah menjadi satu halaman rumah.

Namun seperti semua kisah besar, Majapahit pun akhirnya meredup. Dan keruntuhannya bukan karena satu badai besar — melainkan karena retakan-retakan kecil yang perlahan meruntuhkan segalanya.

Ketika Raja Hayam Wuruk wafat, para bangsawan Majapahit berdiri di persimpangan jalan. Tidak ada pemimpin sekuat dirinya untuk melanjutkan pemerintahan. Dari dalam istana, ambisi-ambisi kecil mulai membesar. Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi, keduanya mengaku berhak atas tahta.

Apa yang seharusnya menjadi masa konsolidasi berubah menjadi Perang Paregreg — saudara melawan saudara, darah bangsawan bercucuran di antara tembok yang dulu kokoh.

Sementara para raja sibuk berperang di pusat, daerah-daerah taklukan mulai menarik diri. Daerah pesisir, pelabuhan dagang, bahkan beberapa kerajaan kecil merasa waktunya untuk melepaskan diri telah tiba.


Di saat Majapahit sibuk menjaga tahtanya, ombak baru sedang berarak di pesisir Nusantara:

Islam datang — bukan dengan pedang, melainkan dengan kapal dagang, dengan kitab suci, dengan para ulama dari Gujarat, Arab, dan Asia Selatan.

Pelabuhan-pelabuhan seperti Malaka, Samudra Pasai, Demak, dan Gresik tumbuh menjadi pusat-pusat baru. Anak-anak muda dari pesisir mulai memeluk agama baru, membawa serta budaya dan jaringan perdagangan yang berbeda.

Sementara itu, jalur perdagangan yang dulu menjadi sumber emas Majapahit mulai beralih. Selat Malaka menjadi urat nadi baru dunia. Pedagang lebih memilih berlabuh di Malaka daripada di pelabuhan Majapahit yang mulai pudar pamornya.

Majapahit, kerajaan besar berbasis daratan, kehilangan napas ekonominya.

Dan ketika waktu berjalan, kekuatan Islam mulai menyusun dirinya. Kesultanan Demak, dengan darah Majapahit yang mengalir di sebagian bangsawannya yang telah masuk Islam, mengangkat panji baru.

Demak bukan hanya kekuatan baru — ia adalah bayangan masa lalu Majapahit yang bangkit dengan wajah berbeda.

Serangan demi serangan diarahkan ke jantung kekuasaan Majapahit.

Benteng-benteng yang dulu megah runtuh. Istana-istana sunyi. Bendera-bendera kerajaan jatuh satu per satu.

Akhirnya, Majapahit tidak lagi disebut sebagai kerajaan yang memerintah.

Ia menjadi cerita. Ia menjadi nyanyian. Ia menjadi bagian dari kenangan bangsa.


Sebuah Pelajaran yang Tak Pernah Usang

Majapahit mengajarkan kita bahwa kejayaan tanpa persatuan hanyalah ilusi.

Bahwa peradaban sebesar apa pun bisa runtuh jika pemimpin sibuk berperang satu sama lain, jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Hari ini, saat kita membangun masa depan Nusantara modern, mungkin gema dari Majapahit masih berbisik dari balik tirai waktu:

“Bersatulah. Dengarkan zaman. Dan bangunlah dunia baru dengan akarmu yang kokoh.”

Karena yang membuat bangsa besar bukan hanya kekuasaan —

Tetapi juga kesadaran bahwa perubahan harus disambut, bukan ditolak.

Dan masa depan harus direngkuh, tanpa melupakan jejak-jejak tanah tempat kita berpijak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *