
Membaca Ulang Sitti Nurbaya
Sitti Nurbaya bukan sekadar nama. Ia adalah gema dari masa lalu yang menolak dilupakan. Ia adalah suara dari seorang perempuan muda yang hidup di tengah sistem yang menindas, dan memilih untuk melawan, meski ia tahu tak akan menang dengan mudah.
Pada awalnya, hidup Nurbaya berjalan indah. Ia gadis cerdas, penuh semangat, dan jatuh cinta pada Samsulbahri—pemuda terpelajar yang juga mencintainya. Tapi hidup, seperti biasa, menyimpan jebakan. Ayah Nurbaya jatuh bangkrut karena ditipu oleh Datuk Meringgih—orang kaya yang kejam, dan menyimpan hasrat atas diri Nurbaya.
Tentang Novel
Novel Sitti Nurbaya, karya Marah Rusli, pertama kali diterbitkan pada tahun 1922 oleh Balai Pustaka. Cerita ini menyoroti:
- Perjodohan paksa atas nama “hutang budi”
- Kritik terhadap adat dan feodalisme yang membelenggu hak individu
- Perempuan yang memilih berpikir dan bertindak—bukan hanya menunggu nasib
Sitti Nurbaya dipaksa menikah dengan Meringgih demi menyelamatkan utang ayahnya. Tapi ia bukan korban pasif. Ia menyusun rencana, menulis surat pada Samsulbahri, dan berjuang diam-diam. Namun, tak semua perlawanan berakhir indah. Nurbaya akhirnya wafat karena diracun. Tapi kisahnya tetap hidup sebagai simbol keberanian dan suara yang tak mau dibungkam.
Mengapa Masih Tetap Relevan
Karena banyak dari kita juga menghadapi tekanan yang mirip:
Memilih jurusan demi orang tua, hidup dalam standar sosial yang dipaksakan, atau bahkan menyembunyikan mimpi karena takut dianggap “durhaka.”
Sitti Nurbaya adalah perempuan dari masa lalu yang bicara pada hari ini.
Ia berkata: “Hidupmu adalah milikmu. Jangan biarkan sistem atau tradisi mengambilnya diam-diam.”
Kita Butuh Kisah Seperti Ini
Di era yang memuja kebebasan tapi masih takut berbeda, Sitti Nurbaya adalah pengingat bahwa menjadi benar bisa terasa salah, dan menjadi berani bisa terasa sepi. Tapi tetaplah berani.
Karena seperti Sitti Nurbaya, kita tidak dilahirkan untuk tunduk pada takdir yang dituliskan orang lain.