• 081212900610
  • info@nusaverse.id
  • Jakarta, Indonesia
eksplorasi
HAMUKTI PALAPA: Sumpah yang Menunda Kenikmatan Demi Nusantara

HAMUKTI PALAPA: Sumpah yang Menunda Kenikmatan Demi Nusantara

Bayangkan seorang pemimpin yang bersumpah untuk tidak mencicipi kenikmatan dunia, sebelum ia berhasil menyatukan tanah-tanah yang terpisah lautan, pulau-pulau yang jauh dari pandangan, dan jiwa-jiwa yang belum mengenal satu ikatan. Bukan karena ia haus kuasa. Bukan pula karena ambisi pribadi. Tapi karena satu keyakinan: bahwa Nusantara layak disatukan, bukan dijajah; dihimpun, bukan dipecah.

Itulah Gajah Mada. Di hadapan para bangsawan dan pembesar Majapahit, ia mengucapkan sumpah yang tidak biasa: “Lamun huwus kalah Nusantara, ingsun amukti palapa. Aku tidak akan menikmati palapa—kenikmatan duniawi—sebelum seluruh Nusantara takluk dan bersatu di bawah panji Majapahit.

Sumpah itu, bukan sekadar kata. Ia adalah api. Api yang menyala dari dada seorang patih, membakar kemalasan, memanggang kenyamanan, dan menghanguskan segala ego pribadi. Ia tahu, menyatukan Nusantara bukan perkara satu malam. Tapi ia bersedia: untuk menunda istirahat, menahan lapar, bahkan menanggalkan mimpi-mimpi pribadi.

Lalu kita bertanya, siapa yang hari ini bersumpah untuk menunda kesenangan demi tanah air? Siapa yang berani menolak kemudahan demi cita-cita besar bangsa?

Di zaman ini, ketika banyak yang lebih suka menikmati palapa dulu—bahkan sebelum bekerja, bahkan tanpa berkeringat—kisah Gajah Mada menjadi cermin yang bening. Ia bukan dewa. Ia manusia. Tapi ia memilih jalan berat karena ia tahu, jalan ringan tak akan pernah membawa bangsa ini menuju kejayaan.

Hamukti Palapa adalah Pilihan

Bukan sumpah magis. Bukan mitos tua. Ia adalah pernyataan sikap: bahwa seorang pemimpin sejati adalah ia yang berani lapar dulu, agar bangsanya kenyang kemudian. Yang berani berjaga malam, agar rakyatnya bisa tidur tenang. Yang bersedia menunda “aku”, demi “kita”.

Dari Masa Lalu untuk Masa Depan

Kini, sumpah itu bukan sekadar milik Gajah Mada. Ia adalah warisan. Ia menunggu kita, generasi hari ini, untuk mewarisinya bukan hanya dalam upacara atau pelajaran sejarah. Tapi dalam kerja nyata. Dalam integritas. Dalam keberanian untuk mengatakan

“Aku akan amukti palapa… hanya jika bangsaku telah berdaulat, rakyatku telah sejahtera, dan peradabanku telah kembali jaya.”

Indonesia tidak kekurangan tanah, laut, dan langit. Tapi kadang, kita kekurangan jiwa seperti Gajah Mada—yang rela menunda nikmat, demi menjemput kemuliaan. Maka hari ini, mari kita bertanya pada diri sendiri:

Sudahkah kita bersumpah seperti Gajah Mada? Ataukah kita masih sibuk memuaskan diri, saat bangsa ini belum sepenuhnya bangkit berdiri?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *