
“Robohnya Surau Kami” — Cerpen yang Mengguncang
Di suatu malam yang sunyi, seorang pemuda berjalan tanpa tujuan. Ia baru saja kehilangan pekerjaan, dan dunia terasa tak berpihak. Langkahnya membawanya ke sebuah surau tua di pinggir kampung—kosong, berdebu, tapi masih berdiri.
Di dalamnya, ia bertemu dengan seorang kakek. Mereka berbincang. Tentang hidup, tentang Tuhan, tentang kenapa manusia begitu sering bingung memilih arah. Si kakek berkata ia dulu adalah orang yang taat. Setiap hari di surau, berzikir, berdoa, menjauhi dunia.
Namun kini, si kakek merasa… ditinggalkan.
Cerita ini ditulis oleh A.A. Navis tahun 1956. Tapi jangan salah. Ia terasa seperti baru ditulis kemarin sore. Dalam cerpen ini, Tuhan sendiri (dalam cerita) mengusir si kakek dari surga karena hidupnya dianggap tak berguna. “Kau hanya berdoa, tapi tak peduli pada sesama.” “Kau takut kotor oleh dunia, padahal kau hidup di dalamnya.”
Dan di akhir cerita, sang kakek… gantung diri. Tragis
Mengapa Penting untuk Generasi Sekarang?
Karena hari ini, banyak dari kita yang hidup dalam rutinitas tanpa makna. Kita sekolah, kerja, unggah konten, ikut tren. Tapi sering lupa:
Apa sebenarnya kontribusi kita untuk sekitar?Apakah kita hidup hanya untuk “lulus dan sukses”, atau untuk benar-benar hadir bagi orang lain?
Sastra Klasik Bukan Barang Kuno—Tapi Jendela Nurani
Generasi milenial dan Gen Z tumbuh dalam era serba cepat. Dunia ada dalam genggaman. Tapi sastra, seperti Robohnya Surau Kami, mengajak kita berhenti sejenak—untuk bertanya, bukan menjawab.
Sastra klasik itu seperti cermin yang jujur. Ia tak peduli kita generasi mana. Ia hanya ingin kamu merasakan ulang jadi manusia, sebelum algoritma dan ambisi membuatmu lupa rasanya.
Mungkin Surau Itu Sekarang Ada di Hatimu
Tak perlu pergi ke surau tua. Kadang, kita juga si kakek itu: merasa benar, tapi lupa peduli. Dan mungkin… kita butuh membaca ulang cerita ini. Agar kita tahu kapan harus berdoa, kapan harus bertindak. Agar kita tahu bahwa hidup yang bermakna bukan soal suci—tapi soal peduli.
Robohnya Surau Kami bukan hanya tentang masa lalu.
Ia tentang hari ini—dan tentang siapa yang kamu pilih untuk jadi.