• 081212900610
  • info@nusaverse.id
  • Jakarta, Indonesia
Tokoh Inspiratif
Ainun Nadjib: Sang Pengelana Ruhani dari Jombang

Ainun Nadjib: Sang Pengelana Ruhani dari Jombang

cak-nun Ainun Nadjib: Sang Pengelana Ruhani dari Jombang

Di sebuah sudut desa bernama Jombang, Jawa Timur, pada 27 Mei 1953, lahirlah seorang anak lelaki dari keluarga santri. Namanya Ainun Nadjib. Tak ada yang menyangka, anak itu kelak akan menjelma menjadi salah satu pemikir, budayawan, dan pujangga paling disegani di Indonesia. Sejak kecil, Ainun akrab dengan suara adzan, kitab-kitab kuning, dan nuansa pesantren yang penuh khidmat. Tapi ia juga tumbuh di tengah masyarakat yang dinamis — antara tradisi dan arus perubahan zaman.

Muda dan penuh rasa ingin tahu, Ainun kecil tak hanya duduk manis di serambi masjid. Ia membaca buku-buku tebal yang tak biasa dibaca anak seumurannya. Ia merenung, bertanya, dan berani mempertanyakan. Pada usia remaja, ia sudah mengisi ceramah dan diskusi, bukan sekadar menyampaikan doktrin, tapi menggugat nurani.

Ketika dewasa, ia merantau ke Yogyakarta, kota yang membesarkannya secara intelektual. Di sanalah ia mulai dikenal sebagai penyair jalanan. Puisinya tidak menara gading — ia menggugat ketimpangan, menyentil kemunafikan, dan memeluk kemanusiaan. Dalam setiap bait, ada ruh yang bergerak. Cak Nun tidak hanya bicara tentang Tuhan, tapi juga tentang lapar, cinta, dan keadilan.

Namun Cak Nun tak pernah betah hanya di menara kata. Ia menyentuh hati rakyat lewat pertunjukan, musik, dan dialog terbuka. Bersama KiaiKanjeng, kelompok musik yang ia bina, ia berkeliling Indonesia—bahkan ke mancanegara—membawa Islam yang teduh, budaya yang hidup, dan cinta yang membumi. Bukan dakwah yang menggurui, tapi dialog yang mengayomi.

Ia menolak label: bukan ulama, bukan politisi, bukan artis. Ia hanya ingin disebut warga negara biasa, seorang “tetangga” yang siap menemani bangsa dalam kesunyian dan keramaian. Meski tak duduk di jabatan resmi, pemikirannya menembus batas partai, agama, dan ideologi. Ia diundang ke istana, tetapi lebih sering memilih hadir di lapangan, di tengah masyarakat kecil, di gang-gang sempit yang mungkin tak tersentuh pembangunan.

Tulisan-tulisannya seperti “Tuhan pun ‘Berpuasa’”“Markesot Bertutur”, dan “Syair-syair Asmaul Husna” bukan sekadar literatur, melainkan ladang kontemplasi. Di sana, pembaca diajak tidak hanya berpikir, tapi juga merasa dan berserah. Ia menjembatani langit dan bumi, tasawuf dan sosial, cinta dan kritik.

Hari ini, Cak Nun masih melangkah. Di usia senjanya, ia tetap hadir—melalui tulisan, panggung, dan doa-doanya. Ia mungkin tak bersuara sekeras dulu, tapi gema kebijaksanaannya justru makin dalam. Ia bukan hanya milik kaum santri atau seniman. Ia milik siapa saja yang masih percaya bahwa kebenaran bisa disampaikan dengan cinta, bahwa budaya bisa menjadi jalan pulang, dan bahwa Indonesia bukan sekadar tanah air, tapi juga rumah spiritual yang mesti dijaga bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *